Semua peserta didik dipastikan mau menjadi siswa di sekolah favorit. Semua orangtuapun sama, merasa bangga dan berkeinginan kuat menyekolahkan anaknya di sekolah favorit. Ini adalah hal yang wajar dan manusiawi. Yang menjadi permasalahan adalah proses menghalalkan segala macam cara dalam memasuki sekolah favorit, sekalipun sistem sudah dibuat secara baik. Budaya dan mabuk sekolah favorit membuat masyarakat pengguna pendidikan menjadi “sakau.”
Masyarakat yang “sakau” menjadi tidak rasional dan abai terhadap aturan yang ada. Ramai-ramai “mengerubuti” sekolah favorit dan dengan sombongnya tidak peduli terhadap sekolah tidak favorit (tidak ternama) sekalipun dekat dengan tempat tinggal. Tidak malu malunya orang tua membawa anak dan memaksakan masuk sekolah sekalipun sudah dinyatakan tidak diterima. Sebuah proses pendidikan korupsi/KKN yang ditanamkan sejak dini. Orangtua yang sakau, merasa tidak bersalah. Dapat diduga bagaimana sikap generasi kedepan yang didik orangtua dengan pendidikan anti sportifitas.
Lebih mendingan bila memaksakan diri kemudian mampu meyelesaikan administrasi dengan baik. Lebih aneh lagi, bila masuk memaksa dan minta serba digratiskan. Dan jauh lebih aneh adalah orangtua yang menjelekan sekolah dimasukinya agar anaknya diterima. Masuk memaksa, minta segala gratis, banyak komentar dan kurang wawasan dalam mendidik anak masih ada di dunia pendidikan kita.
Menyemutnya siswa di sekolah favorit dan kurusnya siswa di sekolah tidak favorit, menjadi permasalah bersama dalam dunia pendidikan. Ibarat angkot yang penuh penumpang, dan angkot yang tidak ada penumpang. Sopir angkot akan ditilang, padahal penumpangnya adalah preman semua yang memaksa naik. Sopir angkot tidak berdaya dihadapan polisi dan penumpang yang galak.
Dilema ini menjadi realitas yang tidak sederhana. Siapa yang salah? Dinas Pendidikan? Satuan pendidikan? Pemda? Dewan Pendidikan? Atau masyarakat? Kenyataannya semua bertangungjawab, dan tanggungjawab semua. Pepatah sunda menyatakan “alus goreng nu boga hajatmah sok diomongkeun” Ini persis menimpa satuan pendidikan dan Dinas Pendidikan. Bahkan media masapun tertarik untuk memberitakannya.
Fenomena kontroversi PPDB di Kota Sukabumi adalah fenomena kita bersama. Hampir semua oknum dari profesi/lapisan manapun “terlibat” dalam PPDB Kota Sukabumi, karena PPDB adalah hajatan publik. Mari kita sikapi dengan arif dan bijaksana. Jangan saling menyalahkan. Apalagi mencari keuntungan politis/ekonomis dibalik permasalahannya.
Kasihan sekolah yang kekurangan siswa dan kasihan pula sekolah yan kelebihan siswa. Sekolah kekurangan siswa telah ditinggalkan oleh calon siswa. Sekolah kelebihan siswa dikerubuti, dikeroyok dan dipaksa menerima semua siswa dengan berbagai cara. Tidak dapat menolak karena keterbatasan otoritas dan “kekuatan/power” calon siswa memaksakan masuk sekalipun sudah jelas tidak diterima. Budaya memaksakan diri menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Kota Sukabumi.
Kasihan sekolah yang kekurangan siswa dan sekolah yang kelebihan siswa. Beban sekolah yang kekurangan siswa sangat kompleks. Menyangkut masa depan sekolah, jam mengajar guru, prasyarat sertifikasi, nafkah guru honorer dll. Beban sekolah yang kelebihan siswapun tidak ringan. Perlu sarana prasaran tambahan, guru baru dan beban yang lebih besar. Permasalahn lebih serius adalah antipati dari sekolah-sekolah yang kekurangan siswa.
Sekolah yang kelebihan siswa dianggap “ngarawu ku siku” padahal kenyataannya ia “diperkosa” oleh keadaan. Tidak kuasa menahan kuatnya serbuan masyarakat yang “sakau” dengan berbagai cara. Kepala sekolah “mengasingkan diri” dan panitia hampir tidak bisa bernafas karena banyaknya peminat adalah penderitaan tahunan pada sekolah favorit. Ribuan aspirasi memaksa ingin diterima dengan berbagai alasan dan gaya menjadi kenyataan yang sangat merepotkan. Kalau tidak berjiwa besar tidak ada yang mau jadi ketua panitia, karena akan berhadapan dengan kompleksitas masyarakat dengan berbagai karakter “sakaunya”.
Sekolah favorit, dengan realitas seperti ini seperti “tamiang meulit ka bitis.” Membangun sekolah dengan baik, imbasnya diserbu dengan dahsyat. Banyaknya siswa yang diterima karena “terpaksa”, dianggap pihak eksternal sebagai kesalahan lembaga. Padahal tidak 100% benar. Justru intimidasi sosial/politik dari para orangtua/perantara dan oknum begitu kuat dan hebat. Kasihan sekolah favorit, kasihan sekolah tidak favorit dua-duanya berada dalam kondisi tidak normal dan tidak wajar. Kelebihan dan kekurangan siswa sama tidak baiknya.
Dalam PPDB yang fenomenal peminatnya serba menegangkan. PPDB menjadi bola panas. Ikut “bermain” tapi tidak mau pegang bolanya. Sekolah favorit jadi serba salah. Menerima siswa sesuai kuota “diserang” masyarakat yang sakau, menerima melebihi kuota dianggap menyimpang. Menerima/memohon sumbangan dana untuk fasilitas peserta didik dianggap jual kursi. Padahal subsidi untuk yang miskin. Idealnya yang miskin dibebaskan biaya, yang kaya sumbang yang miskin. Kenyataannya tidak gampang. Serba salah. Simalakama sekolah favorit, menjadi tidak sederhana. Ini sangat dilematis. Bila sebuah satuan pendidikan terkenal, terakreditasi sangat baik dan penuh dengan prestasi idealnya minim permasalahan. Kenyataannya dalam PPDB tahunan justru menjadi beban mental.
Para orang tua yang tidak sportif menerima hasil verifikasi nilai, menggunakan langkah alternatif dengan memakai jasa/surat sakti atau orang sakti. Maka ini menjadi budaya baru yang tidak layak dilestarikan. Banyak oknum yang berseliweran di sekolah favorit saat-saat PPDB menjadi bukti bahwa satuan pendidikan berada dalam tekanan serius. Panitia “kabur” bukan jalan keluar. Jalan yang ada adalah menahan kesabaran dan tetap tersenyum walaupun terpaksa.
Sekali lagi siapa yang salah? Yang salah bukan lembaga. Bukan pemda. Bukan Dinas Pendidikan. Bukan satuan pendidikan. Yang salah adalah masyarakat dimana didalamnya adalah kita semua. Kultur masyarakat Kota Sukabumi menjadi bagian dari dinamika kontroversi PPDB. PPDB online yang digagas Dinas Pendidikan sudah cukup baik, dan menjadi niat baik ditengah kultur masyarakat Kota Sukabumi yang belum siap.
Menyatakan PPDB Online gagal adalah ungkapan murahan. Karena yang masuk melalui online semua diterima tanpa ada gangguan. Yang susah adalah mencari jalan keluar agar masyarakat mau belajar sportif dan dewasa. Yang gagal adalah masyarakat, belum siap untuk sportif menerima PPDB Online. Sosialisasi yang cukup waktu serta ketegasan semua pihak perlu dibangun bersama. Padahal PPDB sudah sangat demokratis, siswa yang miskin, siswa ABK, siswa prestasi dan siswa reguler mendapat alternatif diterima.
Mari kita saling introsfeksi diri menyikapi PPDB yang telah lalu. Semoga tidak gampang mengkambing hitamkan lembaga atau nama personal. Karena MENCACI MAKI ORANG LAIN ATAU LEMBAGA BUKANLAH PERBUATAN TERHORMAT. SEMUA ORANG PUNYA KESALAHAN, SEMUA LEMBAGA/INSTISUSI MEMILIKI KELEMAHAN. Daris hasil survey Sugeng Saryadi Syndicated (SSS) terbaru tahun 2012, ada tiga lembaga yang paling koruptif dan masih harus banyak belajar memperbaiki diri, yakni DPR, Dirjen Pajak dan Kepolisian. Lembaga yang lainpun sama masih harus belajar memperbaiki diri. Termasuk Departemen Agama dan Depdiknas.
Oleh : Dudung Koswara, M.PdTerbit Radar Sukabumi, 19 Juli 2012
Post a Comment